Bagian ini akan menjelaskan Mekanisme Nasional Pencegahan Penyiksaan. Peserta akan mendiskusikan lembaga-lembaga apa saja yang bisa melakukan pemantauan untuk pencegahan penyiksaan.
Salah satu mekanisme pencegahan penyiksaan adalah sebagaimana yang diatur dalam Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT) atau Protokol Opsional untuk UNCAT. OPCAT lahir untuk melengkapi upaya pencegahan penyiksaan sesuai dengan UNCAT dan menjadi alat praktis untuk membantu negara-negara dalam melaksanakan kewajiban internasional mereka berdasarkan UNCAT dan hukum kebiasaan internasional. Dua upaya ini diharapkan dapat mendorong penghapusan praktik penyiksaan yang masih terjadi di seluruh dunia. OPCAT bertujuan mencegah penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia dengan membentuk sebuah sistem yang terdiri dari kunjungan berkala ke seluruh tempat-tempat penahanan di dalam yurisdiksi dan kendali dari Negara Peserta dan atas dasar kunjungan-kunjungan tersebut, memberikan rekomendasi-rekomendasi dari ahli-ahli nasional maupun internasional kepada pihak-pihak berwenang dari Negara Peserta mengenai cara dan langkah-langkah pencegahan penyiksaan.
Kerangka kerja OPCAT menggunakan dua (dua) pilar pemantauan nasional dan internasional. Pada tingkat internasional, Sub-Komite tentang Pencegahan Penyiksaan (Subcommitte on Prevention of Torture/SPT) dimandatkan untuk menyedikan suatu dimensi internasional untuk pemantauan pencegahan. SPT melakukan kunjungan dan memberikan rekomendasi, nasihat dan dukungan kepada NPM untuk memperkuat kapasitas mereka. SPT juga menjalin huibungan di tingkat nasional, regional dan internasional untuk meningkatkan pencegahan penyiksaan. Pilar kedua dari OPCAT adalah kewajiban pembentukan atau penunjukan suatu National Preventive Mechanisme (NPM) atau Mekanisme Pencegahan Nasional atas penyiksaan bagi setiap Negara Pihak. Lebih jauh tentang OPCAT lihat di https://www.ohchr.org/En/HRBodies/OPCAT/Pages/OPCATIndex.aspx
Pembentukan NPM di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan Tim Gabungan, menggunakan model multi lembaga (multiple body). Artinya, pembentukan NPM ini terdiri dari berbagai lembaga independen yang memiliki mandat yang sama menerima pengaduan dari masyarakat, melakukan pemantauan, pengawasan dan supervisi terhadap pelaksanaan rekomendasi-rekomendasi
Melalui penyelenggaraan berbagai diskusi dan workshop mengenai NPM. Komnas HAM dan Komnas Perempuan menjadi lembaga inisiator dalam pembentukan mekanisme nasional ini. Hasil Lokakarya Komnas HAM dengan Association for the Prevention of Torture (APT) pada 9 Desember 2013 telah memberikan usulan agar 5 (lima) lembaga negara menjadi mekanisme pencegahan penyiksaan dengan cara melakukan pengawasan terhadap situasi tempat-tempat penahanan di Indonesia. Kelima lembaga tersebut adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombusdman Republik Indonesia (ORI) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dengan menggunakan mekanisme kerja multi lembaga.
Walaupun Indonesia belum meratifikasi OPCAT, namun kelima Lembaga tersebut telah menentukan pola kordinasi dan kerja serta praktik terbaik dalam melakukan pemantauan guna mencegah terjadinya tindak penyiksaan, termasuk melakukan dialog konstruktif. Hal ini juga diharapkan dapat meningkatkan kesepahaman berbagai lembaga tentang mekanisme pencegahan penyiksaan yang berdasarkan kerjasama dan dialog konstruktif.
Mekanisme pencegahan penyiksaan dengan mekanisme kerja multi lembaga dianggap akan jauh lebih efisien dalam pelaksanaannya daripada harus membangun lembaga independen baru. Alasan utama di gunakannya mekanisme kerja multi lembaga karena adanya legalitas atau kewenangan dari setiap lembaga, sarana pendukung dan sumber daya manusia yang memadai, serta adanya mitra dan kantor perwakilan di daerah.