Kasus A
Suatu kelompok ingin membangun tempat ibadah dan mengajukan ijin sesuai prosedur. Meskipun persyaratan sudah lengkap, FKUB sudah 2 tahun tidak kunjung mengeluarkan rekomendasi, bahkan tidak menjawab apapun. Surat anda sebagai pengacara kelompok ini protes dan mempertanyakan rekomendasi yang tidak kunjunga keluar, FKUB melayangkan surat mengatakan dalam Perber 2 menteri (PBM) terkait ini tidak ada kewajiban waktu pengeluaran rekomendasi baik oleh FKUB maupun kepala daerah. Karena kebutuhan beribadat tidak bisa ditunda komunitas ini menggunakan lahan yang ada untuk beribadah di dalam tenda. Setelah berjalan 1 tahun, saat pilkada menjelang, muncul massa dan mengobrak-abrik tenda. Selain menghancurkan tenda, mereka merusak sound system dan kitab-kitab suci. Laporan komunitas ini ke kepolisian tidak ditindaklanjuti.
Apa yang dapat kita analisa dari kasus ini?
Dalam kasus tersebut terdapat pelanggaran hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, yakni hak untuk mendirikan rumah ibadah. Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 18 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan jaminan hak untuk mendirikan rumah ibadah di UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, semua penganut agama atau keyakinan berhak untuk mendirikan rumah ibadah. Tindakan FKUB yang tidak memberikan rekomendasi dan utamanya Pemerintah Daerah yang tidak kunjung memberikan ijin merupakan bentuk pelanggaran atas hak KBB tersebut. Sementara tindakan jemaat yang melakukan ibadah dengan lahan mereka sendiri merupakan pelaksanaan hak yang harus dijamin dan dilindungi, karena kebutuhan ijin untuk mendirikan rumah ibadah tidak kunjung dipenuhi.
Pelanggaran lainnya adalah kegagalan pemerintah daerah dan penegak hukum dalam melindungi hak untuk beribadah, karena adanya massa yang menyerang tempat ibadah Komunitas tersebut. Dalam kerangka HAM, Negara termasuk institusi-institusi negara dan aparat keamanan, mempunyai kewajiban untuk melakukan perlindungan, yakni kewajiban yang bersifat aktif untuk melindungi semua bentuk penikmatan hak asas manusia yang harus dilindungi dari serangan pihak lain. Kemudian, pelanggaran lainnya adalah hak atas keadilan, karena laporan kekerasan dan perusakan tempat ibadah dan perangkatnya tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian untuk diproses hukum.
Kasus B
Seorang perempuan mengikuti aliran keagamaan baru. Suami yang merasa istrinya murtad memperingatkan. Tetapi istri sudah teguh dalam keyakinan barunya. Ia bahkan mencoba mengganti kolom agama dalam KTP nya, meskipun ditolak oleh dukcapil dengan alasan ia masih 1 KK dengan orang yang agamanya sama dengan agama lamanya. Sementara itu si suami tambah berang karena istrinya dengan terang-terangan mengatakan sudah mengikuti keyakinan lain. Si suami marah karena keyakinannya mengatakan perkawinannya sudah tidak sah ketika salah seorang dalam ikatan perkawinan berganti agama/keyakinan. Pada puncak kemarahannya si suami memukul istrinya. Dalam upaya agar istrinya kembali ke agama lamanya, ia kemudian mengurung istrinya dalam kamar selama ia tidak ada di rumah, tidak memperbolehkan keluar tanpa dirinya dan tidak boleh menggunakan hp maupun telpon. Anak hasil perkawinan mereka berdua tidak diijinkan bertemu ibunya. Anak ini (T) juga trauma karena karena menyaksikan pemukulan ibunya oleh ayahnya.
Apa yang dapat kita analisa dari kasus ini?
Dalam kasus tersebut, terdapat berbagai pelanggaran HAM. Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran”. Sementara Paragraf 5 Komentar Umum PBB No. 22 untuk Pasal 18 Kovenan Hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa “…kebebasan untuk “menganut atau menerima” suatu agama atau kepercayaan juga mencakup kebebasan untuk memilih agama atau kepercayaan, termasuk hak untuk mengganti agama atau kepercayaan yang dianutnya dengan agama atau kepercayaan yang lain, …”. Sehingga, berpindah agama atau keyakinan adalah hak asasi manusia yang harus dilindungi, serta seseorang tidak dapat dipaksa untuk menganut agama/keyakinan tertentu karena keyakinan pada agama/keyakinan tertentu juga merupakan hak KBB yang bersifat internum dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable right).
Pelanggaran lainnya adalah tidak difasilitasinya perubahan keyakinan tersebut oleh Negara/Pemerintah, dalam hal ini Dukcapil. Bahwa berpindah agama adalah hak, maka Pemerintah wajib menghormati hak tersebut dan memfasilitasi, dalam hal ini merupakan ranah tindakan administratif, untuk mencantumkan agama/keyakinan yang dianut dalam KTP.
Hal lainnya adalah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Tindakan memukul istri dan mengurung yang dilakukan oleh suaminya tersebut adalah tindakan yang dilarang oleh hukum. Selain itu, larangan untuk menemui anaknya dan adanya trauma pada anak adalah pelanggaran terhadap hak-hak anak, sebagaimana dilindungi dalam Konvensi Hak-Hak Anak (CRC) dan UU Perlindungan Anak.
Sumber: Panduan Pelatihan Litigasi Pelanggaran Hak atas Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan, YLBHI