Kovenan Hak Sipil dan Politik dan Perkembangan diskursus kebebasan beragama

 

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)

Pasal 18:

“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.”

 

Kovenan Internasional Hak Sipil Politik, 1966

Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005, dengan demikian maka seluruh ketentuan di dalam kovenan ini menjadi berlaku pula ditingkat nasional.

Pasal 18 :

  1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum maupun tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan dan pengajaran.
  2. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
  3. Kebebasan menjalankan dan menentukan agama dan kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.
  4. Negara Pihak dalam kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.

Labih jauh tentang pengertian-pengertian dalam Pasal 18 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, dapat merujuk pada Komentar Umum (General Comment) PBB No. 22: Pasal 18 (Freedom of Thought, Conscience or Religion), 30 Juli 19993.  Dokumen dapat diakses di https://www.refworld.org/docid/453883fb22.html

Pada tahun 1993 dalam Komentar Umum diatas, Komite HAM PBB menyatakan bahwa pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik “melindungi keyakinan teistik, non-teistik dan ateistik, serta hak untuk tidak mengakui agama atau keyakinan.”

Komite lebih lanjut menyatakan bahwa “kebebasan untuk memiliki atau mengadopsi agama atau kepercayaan, sudah tentu memerlukan kebebasan untuk memilih agama atau keyakinan, termasuk hak untuk mengganti agama atau keyakinan seseorang dengan agama atau keyakinan yang lain, atau untuk mengadopsi pandangan ateistik.”

Para Negara Pihak Kovenan dilarang “menggunakan ancaman kekerasan fisik atau sanksi pidana untuk memaksa orang percaya atau tidak percaya, untuk menarik kembali, atau mengkonversi atau mengubah agama atau keyakinan mereka. Walaupun pernyataan tersebut telah ditegaskan secara universal dalam Instrumen HAM internasional, namun dalam realitasnya para penganut agama-agama minoritas masih masih dianiaya di berbagai bagian dunia.

Dalam Paragraf 5 Komentar Umum No 22 menyatakan:

“Komite mengamati bahwa kebebasan untuk “menganut atau menerima” suatu agama atau kepercayaan juga mencakup kebebasan untuk memilih agama atau kepercayaan, termasuk hak untuk mengganti agama atau kepercayaan yang dianutnya dengan agama atau kepercayaan yang lain, atau untuk mengadopsi pandangan ateisme, serta hak untuk mempertahankan suatu agama atau kepercayaan.

Pasal 18 (2) melarang pemaksaan yang dapat melanggar hak untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan, termasuk penggunaan ancaman kekerasan fisik atau sanksi hukum guna memaksa orang-orang yang percaya atau tidak percaya untuk menaati kepercayaan dan penganut agama mereka, untuk menolak agama atau kepercayaan mereka, atau untuk mengganti agama atau kepercayaan mereka.

Kebijakan-kebijakan atau praktik-praktik yang memiliki tujuan atau dampak yang sama, seperti misalnya, kebijakan atau praktik yang membatasi akses terhadap pendidikan, pelayanan kesehatan, pekerjaan, atau hak-hak yang dijamin oleh pasal 25 dan ketentuan-ketentuan lain dalam Kovenan, juga tidak sesuai dengan Pasal 18 (2). Perlindungan yang sama diberikan pada penganut semua kepercayaan yang bersifat nonagama.”

Pasal 20:

(1) mengatur pelarangan propaganda untuk perang dan (2) melarang segala tindakan yang menganjutkan kebencian atas dasar kebangsaan, rasa atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.

Lebih jauh untuk memaknai maksud kebencian, penghasutan dan permusuhan dapat merujuk pada Dokumen Rabat Plan of Action on the prohibition of advocacy of national, racial or religious hatred that constitutes incitement to discrimination, hostility or violence. Dokumen dapat diakses di https://www.ohchr.org/Documents/Issues/Opinion/SeminarRabat/Rabat_draft_outcome.pdf

Dokumen lainnya yang penting dipelajari adalah Resolusi 16/18 PBB tentang Combating intolerance, negative stereotyping and stigmatization of, and discrimination, incitement to violence and violence against, persons based on religion or belief (Memerangi Intoleransi, Stereotip Negatif dan Stigmatisasi, dan Diskriminasi, Menghasut Kekerasan, dan Kekerasan terhadap Orang berdasarkan Agama atau Keyakinan) 2011 (Dokumen Resolusi ini dapat diakses di https://www2.ohchr.org/english/bodies/hrcouncil/docs/16session/A.HRC.RES.16.18_en.pdf

Resolusi ini menunjukkan adanya kemungkinan untuk mengatasi intoleransi tanpa harus melanggar kebebasan berpendapat dan tidak ditargetkan menjadi hukum mengikat yang akan memberi sanksi pidana, namun menggunakan metode non-hukum, diantaranya dialog dan pendidikan untuk mengatasi intoleransi, sejauh ia tidak diwujudkan dalam hasutan untuk kebencian atau tindakan kekerasan.

Lebih jauh, untuk memenuhi tujuan dari Resolusi 1981 dan mendukung perkembangan pelaksanaan kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia, Komisi HAM PBB membentuk “Pelapor Khusus tentang Intoleransi Agama.”

Pada tahun 2000 Komisi HAM PBB mengubah judul mandat posisi tersebut menjadi “Pelapor Khusus untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan”, agar lebih akurat dalam menangkap kebutuhan untuk melindungi hak individu dalam memeluk dan menjalankan agama atau keyakinannya.

 

Scroll to Top