Berbagai regulasi di Indonesia telah melarang kejahatan penyiksaan. UUD 1945 menyatakan bahwa hak untuk tidak disiksa sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadan apapun:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, …adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
“Setiap orang berhak bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan”.
UU No. 39 Tahun 1999 juga mengatur tentang larangan penyiksaan serta memberikan definisi tentang maksud dari penyiksaan.
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.”
“Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani, maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat politik.”
Kedua pengaturan diatas sejalan dengan berbagai pengaturan dalam hukum HAM internasional, bahwa penyiksaan merupakan perbuatan yang dilarang dalam situasi apapun dan maksud penyiksaan telah merujuk pada UNCAT. Larangan penyiksaan semakin kuat ketika Indonesia meratifikasi UNCAT pada tahun 1988, yang memberikan kewajiban kepada Indonesia untuk mengatur kejahatan penyiksaan dalam hukum pidananya serta melakukan langkah-langkah pencegahan penyiksaan yang efektif.
Pengaturan lainnya terkait dengan kejahatan penyiksaan terdapat dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang menempatkan penyiksaan sebagai suatu bentuk kejahatan asal (underlying act) dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Definisi penyiksaan berdasarkan UU ini:
“…dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seseorang yang berada di bawah pengawasan.”
UU No. 26 Tahun 2000 menjelaskan, definsi kejahatan terhadap kemanusiaan diadopsi dari perumusan dalam Statuta Roma 1998, sehingga unsur-unsur kejahatannya haruslah merujuk pada unsur-unsur kejahatan dalam Statuta Roma. Berdasarkan Elements of Crimes dari Statuta Roma 1998, unsur-unsur penyiksaan diantaranya: (i) pelaku membuat seseorang atau orang-orang mengalami rasa sakit atau penderitaan yang luar biasa baik secara fisik maupun mental; (ii) orang atau orang-orang itu berada dalam tahanan atau berada di bawah kontrol pelaku; dan (iii) rasa sakit atau penderitaan tersebut tidak hanya muncul dari, dan tidak inheren atau hanya sekadar mengikuti, sanksi-sanksi hukum.
Larangan penyiksaan juga terdapat dalam beberapa peraturan lain, misalnya dalam KUHP yang mengatur larangan melakukan tindakan penganiayaan atau tindakan lainnya yang menyebabkan luka-luka dan sebagainya. KUHP tidak menggunakan definisi tentang “penyiksaan” sebagaimana Pasal 1 CAT, namun berbagai kasus penyiksaan yang terjadi dapat diadili denganpasal-pasal di KUHP meskipun masih terbatas. Selain itu terdapat larangan melakukan kekerasan terhadap anak. UU Perlindungan Anak melarang setiap orang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak. Demikian pula dengan UU Sistem Peradilan Anak, menjamin bahwa anak yang berada dalam proses peradilan pidana harus diperlakukan secara manusiawi dan bebas dari penyiksaan, penghukuman atau tindakan lainnya yang kejam, tidak manusiawi serta merendakan derajat dan martabatnya. UU Peradilan Anak ini sebetulnya cukup maju karena selain menyebut tentang larangan penyiksaan, juga menyebut tentang kewajiban untuk adanya ‘perlakuan yang manusiawi’, dan anak bebas dari ‘penghukuman atau tindakan lainnya yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat’. UU mencoba memberikan penjelasan tentang pengertian ‘merendahkan derajat dan martabat’, namun hanya berupa contoh yang tidak secara definitif menjelaskan maksud perbuatan yang merendahkan derajat dan martabat tersebut. Lainnya, tindakan yang berupa ‘perlakuan yang manusiawi’, dan ‘tindakan lainnya yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat’ tidak ada ketentuan mengenai sanksi pidana, sehingga dapat ditafsirkan perbuatan-perbuatan tersebut belum merupakan suatu tindak pidana.
Sejumlah regulasi lain secara implisit melarang tindakan penyiksaan dan perlakuan yang kejam dan merendahkan martabat. UU Kepolisian misalnya, dalam penjelasannya menyebutkan bahwa Indonesia telah meratifikasi UNCAT, sehingga anggota kepolisian wajib memedomani dan mentaati ketentuan tersebut. Demikian pula dengan Peraturan Kapolri yang memberikan panduan bagi anggota kepolisian untuk tidak ‘mentolerir tindakan penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan’ dan ‘menjadikan perintah atasan atau keadaan luar biasa seperti ketika dalam keadaan perang sebagai pembenaran untuk melakukan penyiksaan’, serta ‘menjamin perlindungan sepenuhnya terhadap kesehatan orang-orang yang berada dalam tahanannya’. Anggota Kepolisian juga dilarang melakukan ‘penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan’.
Berikut ini adalah kompilasi peraturan perundang-undangan yang relevan dan terkait pencegahan penyiksaan dan perlakuan terhadap tahanan dan warga binaan.